Jumat, 06 November 2015

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

MAKALAH PENGANTAR PSIKOLOGI
“PERSEPSI PSIKOLOGI”
SEMESTER 1


Kelompok  9   :
1.      FIDAFATUL HIDAYATI    156050128
2.      MEENA DAHOOD               1




FAKULTAS AGAMA ISLAM
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tak terhingga kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas berkah, rahmat, karunia dan hidayah-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah  ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini ialah sebagai salah satu materi tugas kegiatan yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa/mahasiswi dalam melaksanakan studi di tingkat perkuliahan semester I. Adapun judul yang kami buat didalam makalah  ini adalah mengenai “ Islam Sebagai Produk Budaya “.
Dalam proses penyusunan makalah ini, kami banyak mendapatkan bantuan, dukungan, serta do’a dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah didalam kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih dengan penuh rasa hormat serta dengan segala ketulusan hati kepada : Bpk Ali Romdhoni, M.Ag. serta rekan-rekan mahasiswa Universitas Wahid Hasyim Semarang, hingga selesainya makalah ini.
 Kami sangat  menyaadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan didalam penyusunannya dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami mengharapkan masukan baik saran maupun kritik yang kiranya dapat membangun dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi kita semua.
                                                                                        




Semarang, 20 Oktober 2015

Penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I  PENDAHULUAN.. ..................................................................................1
A.     LATAR BELAKANG MASALAH.. ............................................................1
B.     RUMUSAN MASALAH.........................................................................1
C.     TUJUAN MASALAH.. ...........................................................................2
BAB II  PEMBAHASAN  ISLAM SEBAGAI PRODUK BUDAYA............................3
   2.1….. KEBUDAYAAN (PENGERTIAN, UNSUR DAN FUNGSI). .....................3
A.     PENGERTIAN.. ...........................................................................3
B.     UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN.. ................................................5
C.     FUNGSI.....................................................................................6
2.2….. KELAHIRAN ISLAM DAN SENTUHAN BUDAYA ARAB-PRA ISLAM… 6
2.3….. ISLAM  ANTARA GEJALA SOSIAL DAN BUDAYA.. ..........................8
A.     AGAMA SEBAGAI GEJALA  BUDAYA.. ......................................8
B.     AGAMA SEBAGAI GEJALA SOSIAL.. .........................................10
2.4….. PENDEKATAN  POKOK  DALAM  STUDI  BUDAYA.. .......................12
BAB III  PENUTUP. .......................................................................................14
A.     KESIMPULAN...................................................................................14
B.     SARAN.. ...........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.. .....................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH 
Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melakukan studi.
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Tujuan mempelajari agama Islam juga dapat dikategorikan ke dalam dua macam, yang pertama, untuk mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan. Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya, kalau yang pertama berlaku khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam, atau yang sudah sarjana. Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk sarjana-sarjana bukan Islam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya ada yang sekedar sebagai obyek penelitian saja.
Untuk itu, kami menyajikan mengenai Islam sebagai Produk Budaya, agar kita semua tahu mengenai permasalahan tersebut.
 B.     RUMUSAN MASALAH
  1. Apa sebenarnya pengertian,unsur d
  2. an fungsiislam sebagai Produk Budaya ?
  3. Bagaimana kelahiran Islam dan sentuhan Budaya Arab Pra-Islam ?
  4. Bagaimana Islam antara gejala Sosial dan Budaya itu ?
  5. Bagaimana pendekatan pokok dalam studi budaya Islam ?



C.    TUJUAN MASALAH
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengerti dan mengetahui mengenai :
  1. Kebudayaan: PengertianUnsur dan fungsi kebudayaan Islam
  2. Kelahiran Islam Dan Sentuhan Budaya Arab Pra-Islam
  3. Islam Antara Gejala Sosial Dan Budaya dalam Islam
4.      Pendekatan pokok dalam Studi Islam
















BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM SEBAGAI PRODUK BUDAYA
2.1. KEBUDAYAAN ( PENGERTIAN,UNSUR DAN FUNGSI)
A.    PENGERTIAN
Dalam literature antropologi terdapat tiga istilah yang boleh jadi semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization, dan kebudayaan. Term kultur berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata cultura (kata kerjanya colo, colere). Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan , atau mengolah (S. Takdir A,1986: 205).
 Soerjono Soekanto (1993: 188) mengungkapkan hal yang sama. Namun ia menjelaskan lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan mengolah atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah pengolahan tanah atau bertani. Atas dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi (civilization) berasal dari kata latin,yaitu civis. Arti kata civis adalah warga negara (civitas = negara kota dan civilitas = kewarganegaraan). Oleh karena itu, S . Takdir Alisyahbana (1986,206) menjelaskan bahwa sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih halus. Dalam bahasa indonesia, peradaban dianggap sepadan dengan kata civilization.
Berikut adalah beberapa pengertian kebudayaan menurut S. Takdir Alisyahbana (1986:207-8):
  1. Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda- beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat
  2. Kebudayaan adalah warisan sosial atau tradisi
  3. Kebudayaan adalah cara, aturan dan jalan hidup manusia.
  4. Kebudayaan adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan persoalan.
  5. Kebudayaan adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
  6. Kebudayaan adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
Parsudi Suparlan(A.W widjaya,1986:65-6)menjelaskan bahwa kebudayaan adalah serangkaian aturan-aturan,petunjuk-petunjuk,resep-resep,rencana-rencana, dan strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dimiliki manusia, dan yang digunakan secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagian terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya. Sehingga kebudayaan adalah semua hasil karya,rasa,dan ciptaan masyarakat.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Soerjono Soekanto (1993:190) menjelaskan bahwa pendapat diatas mengenai kebudayaan dapat dijadikan sebagai pegangan. Selanjutnya, ia menganalisis bahwa manusia sebenarnya mempunyai 2 segi atau segi kehidupan,yakni Sisi Material dan Sisi Spiritual. Sisi materil mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda atau yang lainnya yang berwujud materi.Sisi spiritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmupengetahuan,karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan,kesusilaan,kesopanan,hukum serta rasa yang menghasilkan keindahan.
Manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menyelarasikan perilaku terhadap kaidah melalui etika,dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Itu semua merupakan kebudayaan yang menurut Soerjono soekanto dapat dijadikan sebagai patokan analisis.
Kebudayaan yang dijelaskan diatas yang dimiliki oleh setiap masyarakat  perbedaanya terletak pada kemajuan dan kesempurnaan: kebudayaan masyarakat yang satu lebih maju atau lebih sempurna daripada kebudayaan untuk memenuhi segala keperluan masyarakat. Biasanya,kebudayaan masyarakat yang telah mencapai taraf perkembangan, taraf tekhnologi yang lebih tinggi disebut peradaban (civilization) (Soerjono Soekanto,1993:190).
B.  UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN
Menurut Drs. Atang Abd. Hakim, MA. dan DR. Jaih Mubarok (2012: 31): Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan, unsur-unsur kebudayaan dalam pandangan Malinowski adalah sebagai berikut :
  1. Sistem norma yang memungkinkan terjadinya kerjasama antara para anggota masyarakat dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
  2. Organisasi ekonomi.
  3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama).
  4. Organisasi kekuatan (Soerjono Soekanto, 1993: 192)
Koentjaraningrat (1985) menyebutkan ada tujuh unsur-unsur kebudayaan. Ia menyebutnya sebagai isi pokok kebudayaan. Ketujuh unsur kebudayaan universal tersebut adalah :
a)      Kesenian                                                            f)       Sistem pengetahuan
b)      Sistem teknologi dan peralatan                          g)      Sistem religi
c)      Sistem organisasi masyarakat
d)     Bahasa
e)      Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi


C. FUNGSI
Didalam kebudayaan terdapat pola – pola perilaku yang merupakan cara – cara manusia untuk bertindak sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat, artinya kebudayaan merupakan suatu garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan – peraturan mengenai bagaimana masyarakat harus bertindak, bagaimana masyarakat melakukkan hubungan dengan orang lain atau bersosialisasi, apa yang harus dilakukan, apa yang dilarang dan sebagainya.
Hasil karya manusia akan melahirkan suatu kebudayaan atau teknologi yang nantinya akan berguna untuk melindungi ataupun membantu masyarakat untuk mengolah alam yang bisa bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri
2.2.KELAHIRAN DAN SENTUHAN BUDAYA ARAB PRA-ISLAM
Bangsa Arab pra-islam dikenal sebagai bangsa yang sudh memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografisnya yang strategis membuat islam yang diturunkan di Arab (Mekkah) mudah tersebar berbagai wilayah, disamping didorong dengan cepatnya laju perluasan wilayah yang dilakukan oleh umat Islam.
Meskipun sulit digambarkan secara komprehensif,cirri-ciri utama tatan Arab pra-islam adalah sebagai berikut: (a) Mereka menganut paham kesukuan  (qabilah); (b) Memiliki tata social politik yang tertutup dengan dengan partisipasi warga yang terbatas, factor keturunan lebih penting dari pada kemampuan; (c) mengenal hierarki social yang kuat: dan (d) keduduan perempuan cenderung direndahkan. (Nurcholish Madjid,1995:28)
Disamping cirri-ciri tersebut, Mekah pada pra-islam sudah terdapat jabatan-jabatan penting, seperti dipegang oleh Qushayy bin Qilab pada pertengahan abad V M. Dalam rangka memelihara Ka’bah, dibentuklah jabatan-jabatan sebagai berikut: hijab (penjaga pintu ka’bah atau juru kunci); siqaya (petugas yang diharuskan menyediaan air tawar untuk para tamu yang berkunjung ke ka’bah serta menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma); rifadla (petugas yang diharuskan member makan kepada para pengunjung ka;bah); nadwa (petugas yang harus memipin rapat pada setiap tahun); liwa’ (pemegang panji yang dipancangkan  ditombak kemudian ditancapkan sebaga lambing tentara yang sedang menghadapi musuh);  dan qiyaa (pemimpin pasukan apabila hendak berperang). (Muhammad Husein Haikal,1984:35)
Dari segi aqidah (‘aqa’id),bangsa arab pra-islam prcaya kepada allah sebagai pencipta (Q.S. Luqman [31]: 25; dan al Ankabut [29]: 63). Sumber kepercayaan tersebut adalah risalah samawiah yang dikembangkan dan disebaran dijazirah arab,terutama risalah Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il.
Kemudian bangsa Arab pra-islam melakukan trnsformasi dari sudut islam yang dibawa Muhammad disbut penyimangan agama mereka sehingga menjadikan berhala,pohon-pohon,binatang,dan jin sebagai penyerta Alla (Q.S. Al- An’am [6]:100). Demi kepentinan ibadah, bangsa arab pra-islam membuat 360 buah berhala disekitar Ka’bah karena setiap kabilah memiliki berhala (Muathafa Sa’id al-Khinn,1984: 15-6). Mereka pada umumnya tidak percaya pada hari kiamat  dan tidak pula percaya adanya kebangkitan setelah kematian ,(Q.S Al-Mu’min [23]:37)
Meskipun pada umumnya melakukan penyimpangan,sebagian kecil bangsa arab masih mempertahankan aqidah monotheism, seperti diajarkan Nabi Ibrahim a.s. mereka disebut al-hunafa. 1) Diantara mereka adalah ‘Umar bin Nufail dan Zuhair bin Abi Salma. (Mustafa Sa’id al-Khinn,1984:17)
Dalam bidang hokum, bangsa arab pra-islam menjadikan adat sebagai hokum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan, mereka mengenal beberapa macam pekawinan, di antaranya (a) aistibdla, (b) poliandri, (c0 maqhtu’ , (d) badal, dan (e) shighar. (Mustafa said al-khinn,1984: 18-9)
Dilihat dari sumber yang digumakan, hokum arab pra-islam bersumber pada adat istiadat. Dalam bidang muamalat, diantara kebiasaan mereka adalah dibolehkannya transaksi mubadalah (barter), jual beli, kerja sama pertanian (muzara’ah), an riba. Disamping itu, dikalangan mereka juga terdapat  jual beli yang bersifat spekulatif, seperti bai’ al munabadzah.
Diantara ketentuan hokum keuarga arab pra-islam adalah diperbolehkannya berpoligami  dengan perempuan dengan jumlah tanpa batas; seta anak kecil dan perempuan tidak dapat  menerima harta pusaka atau harta peninggalan. (Subhi Mahmashshani,1961:31)
Nurcholish Madjid meyatakan bahwa tatanan masyarakat arab pra-islam cendererung merendahkan martabat wanita,dan itu dapat dilihat dari dua kasus. Pertama, perempuan dapat diwariskan. Misalnya, ibu tiri harus rela dijadikan istri oleh anak tirinya ketika suaminya meninggal; ibu tiri tidak mempunyai hak pilih, baik untuk menerima maupun menolknya. Kedua,perempuan tidak memperoleh harta pusaka.
Al-Qur’an adalah kitab sui yang diwahyukan Allah  kepada Nabi Muhamad Saw, yang “akomodatif”’ terhadap hukum yang hidup dan berkembang dimasyarakat Arab pra-islam. Dalam Al-Qur’anterdapat tawaran perbaikan yang berupa pembatalan dan perubahan, dintaranya dalam hal hokum poligini dan syarat-syarat penerimaan harta pusaka.
1.      HUKUM POLIGINI
Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya, dalam kehidupan masyarakat arab pra-islam terdapat perkawinan istibdla,poliandri,maqthu’ , dan badal (Mustafa Said al-Khinn, 1984: 18-9). Oleh karena itu, dilihat dari fase sejarah, perkawinan bangsa arab pra-islam berada pada fase perkawinan “barbar”.
Tawaran perubahan yang terdapat dalam Al Quran adalah dibatasinya jumlah istri pada pernikahan poligini, yaitu empat orang; dan dan diharamkannya poliandri. (Q.S. al-Nisa [4]:3)
2.      SYARAT-SYARAT PENERIMAAN HARTA PUSAKA
Pembagian harta pusaka telah dilakukan bangsa arab pra-islam. Dalam tradisi yang diwariskan oleh nnek moyang mereka  terdapat ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan perempun tidak berhak mendapatkan harta pusaka (Fatchur Rahman, 1987: 11). Sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai pada zaman arab jahiliyah adalah (1) pertalin kerabat (qarabah); (2) janji setia (muhalafah); dan (3) adopsi (tabanni)
Pada dasarnya, setiap yang mempunyai hubungan kerabat, orang yang mempunyai ikatan janji setia, dan anak angkat adalah ahli waris. Mereka berhak mendapatkan harta pusaka apabila telah memenuhi syarat. Syarat-syaratnya adalah dewasa dan laki-laki (Fatchur Rahman,1987 : 12-3). Dengan demikian, ahli waris dari golongan kerabat terdiri atas laki-laki, yaitu (1) anak laki-laki; (2) saudara laki-laki; (3) paman; dan (4) anak paman. (Fatchur Rahman, 1987:13)
Pada zaman awal islam (setelah Nabi Muhammad Saw dan sahabat hijrah ke Madinah), selain pertalian nasab atau erabat, terdapat tiga sebab mendapatkan harta pusaka,yaitu (1) adopsi; (2) hijrah; dan (3) mu’akhakh (persaudaraan antara muhajirin dan anshar). (Fatchur Rahman,1987: 16-7)
Diantara akomodasi Al-Qur’an terhadap kebisaan arab pra-islam adalah dijadikannya perempuan sebagai anggota keluarga yang mendapatkan harta pusaka dalam berbagai posisi keluarga, baik sebagai anak, istri, ibu maupun saudara. Disampig itu salig mewarisi yang disebabkan oleh adopsi dibatalkan oleh allah dalam al-quran  (Q.S. Al- Ahzab [33]: 4-5). Demikianlah persentuhan antara islam dan adat arab pra-islam. Al-  Qur’an mengakomodasi kebudayaan arab yang hdup dan berkembang ketika itu dengan melakukan beberapa tawaran perubahan.
2.3.  ISLAM  ANTARA GEJALA SOSIAL DAN BUDAYA
            A. Agama Sebagai Gejala Budaya
Pada awalnya ilmu hanya ada dua, yaitu : ilmu kealaman dan ilmu budaya. Ilmukealaman, seperti fisika, kimia, biologi dan lain-lain mempunyai tujuan utamamencari hukum-hukum alam, mencari keteraturan-keteraturan yang terjadi padaalam. Oleh karena itu suatu penemuan yang dihasilkan pada suatu waktu mengenaisuatu gejala atau sifat alam dapat dites kembali oleh peneliti lain, pada waktu lain,dengan memperhatikan gejala eksak. Contoh, kalau sekarang air mengalir dari ataskebawah, besok apabila dites lagi juga hasilnya begitu. Itulah inti dari penelitiandalam ilmu-ilmu eksak, yakni mencari keterulangan dari gejala-gejala yangkemudian diangkat menjadi teori dan menjadi hukum. Sebaliknya ilmu budayamempunyai sifat tidak berulang tetapiunik [M.Atho Mudzhar, 1998:12]. Sebagai contoh, budaya stau kelompok masyarakat unik buat keleompok masyarakat tersebut, sebuah situs sejarah unik untuk situs tersebut dan sebagainya dan disini tidak ada keterulangan.
Menurut M.Atho Mudzhar [1998:12-13], di antara penelitian kelaman dan budaya,terdapat penelitian-penelitian ilmu-ilmu sosial. Sebab penelitian ilmu sosial beradadi antara ilmu budaya dan ilmu kelaman, yang mencoba untuk memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya. Karenaitu, penelitian ilmu sosial mengalami problem dari segi objektivitasnya.
Apakah penelitian sosial itu objektif dan dapat dites kembali keterulangannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua aliran yang dapat digunakan, yaitu : Pertama ,aliran yang menyatakan bahwa penelitian sosial lebih dekat pada penelitian budaya, ini berarti sifatnya unik. Misalnya saja, penelitian antropologi sosial, lebihdekat pada ilmu budaya. Kedua, aliran yang menyatakan bahwa ilmu sosial lebihdekat kepada ilmu kealaman, karena fenomena sosial dapat berulang terjadinya dandapat dites kembali. Untuk mendukung pendapat mengenai keteraturan itu, makadalam ilmu sosial digunakan ilmu-ilmu statistik yang juga digunakan dalam ilmu-ilmu kelaman.
Perkembangan selanjutnya, sekrang ini ada ilmu statistik khususuntuk ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk mengukur gejala-gejala sosial secaralebih cermat dan lebih signifikant. Dapat dikatakan bahwa inti ilmu kealamanadalah” positiv is me ” . Suatu penemuan, baru dikatakan atau dianggap sebagaiilmu apabila memenuhi syarat, yaitu : [1] dapat diamati [observable], [2] dapatdiukur [measurable], dan [3] dapat dibuktikan [verifiable]. Ilmubudaya hanyadapat diamati dan kadang-kadang tidak dapat diukur apalagi diverifikasi.Sedangkan ilmu sosial lebih dekat kepada ilmualam mengatakan bahwa ilmusosial dapat diamati, diukur dan diverifikasi. Oleh karena itu, para ilmuan sosiologidari Universitas Chicago mengembangkan sosiologi kuantitatif perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah ayat yang dimansukh.
Menurut beberapa pendapat, bahwa pada awalnya jumlah ayat yang dimansukhadalah 115 ayat, kemudian turun menjadi 60 ayat, sekarang turun lagi menjadi 16ayat. Itu merupakan persoalan yang penting untuk dikaji dan diteliti [M.AthoMudzhar, 1998:19- 20]. Kajian ini lebih pada penelitian teks dan sejarah.Ilmu tafsir, dengan metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu :metode ijmali[ global] , metode tahlili[analisis ] , metode muqarin[komporatif], dan metode maudhu’i [tematik], telah digunakan mufasirin.

B.     AGAMA SEBAGAI GEJALA SOSIAL
Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada sosiologi agama. Pada zaman dahulu, sosiologi agama mempelajari hubungan timbal-balik antar agama dan masyarakat. Artinya, mesyarakat mempengaruhi agama dan agama mempengaruhi masyarakat. Para ahli sosiologi agama, mulai mempelajari bukan hanya pada soal hubungan timbal-balik saja, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap perilaku atau tingkah laku masyarakat, artinya bagaimana agama sebagai sistem nilai dapat mempengaruhi tingkah laku masayarakat dan bagaimana pengaruh masyarakat terhadap pemikiuran-pemikiran keagamaan.
Lahirnya teologi Khawarij, Syiah dan Ahli Sunnah wal Jamaah sebagai produk atau hasil pertikaian politik dan bukan poroduk teologi. Tauhidnya sama, satu dan asli, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam adalah produk perbedaan pandangan politik. Maka dapat dikatakan, bahwa pergeseran perkembangan pemikiran masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan
Saat ini, mungkin kita dapat meneliti bagaimana perkembangan pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia terhadap krisis sosial yang meluas yang dapat disaksikan dalam berbagai bentuk, misalnya : budaya korupsi dan nepotisme sebagai budaya,  lenyapnya kesabaran sosial [social temper] dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anark,merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya.
Berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.
Contoh lain, dan ini sekaligus menjadi tantangan bagi para pemeluk agama adalah munculnya program tayangan stasiun televisi yang mengusung unsur-usnsur mistik yang dikemas sebagai suatu tontonan yang menarik, penggunaan ayat-ayat Qur’an untuk mengusir setan yang ditayangkan melalui program siaran televisi, pameran busana mewah dengan memperlihatkan bagian tubuh [aurat] yang seharusnya ditutup rapat dan tidak ditontonkan, munculnya kiai yang salat dengan menggunakan bahasa Indonesia, kiai yang menganggap sah menggauli para santrinya, para intelektual Islam para era reformasi, globalisasi dan internet mulai berbicara ”tauhid sosial” dan ”kesalehan sosial”, bagaimana bentuk dan karakteristik tauhid sosial dan kesalehan sosial, mucul ”tokoh muslimah Amerika” yang memimpin salat jum’at, itu semua dapat menjadi fenomena atau gejala sosial keagamaan dan menjadi sasaran penenlitian agama.
Persoalan lain adalah interaksi antar pemeluk suatu agama dan antar pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama lainnya, kurukunan antar umat beragama, ”interaksi antara orang-orang Islam ada yang menggunakan norma-norma Islam, tetapi ada juga yang tidak menggunakannya. Maka, pengamatan terhadap apakah mereka menggunakan norma-norma Islam atau tidak, termasuk penelitian ke-Islaman. Demikian juga pengamatan terhadap para pemeluk Islam dalam interaksinya dengan pemeluk agama lain. Bagaimana karakteristik interaksi itu, bagaimana mereka memahami dan mengeskpresikan nilai-nilai Islam dalam interaksi antara pemeluk agama-agama yang berbeda, itu semua dapat menjadi sasaran penelitian agama”. [M.Atho Mudzhar, 1998:18].
Perubahan-perubahan dramatis yang menempa hubungan antara “Barat” dan dunia Islam sebagai akibat dari peristiwa terorisme internasional, perang Iraq-Amerika, tuduhan Barat terhadap tokoh-tokoh muslim radikal sebagai pemimpin terorisme, secara alami juga membawa dampak pada pengajaran dan riset yang terkait dengan studi Islam.
Dari pandangan tentang agama sebagai gejala budaya dan sebagai gejala sosial, elemen-elemen yang harus diketahui dalam Islam adalah persoalan teologi, komsmologi, danantropologi yang tentu menyangkut dengan persoalan sosial kemanusian dan budaya. Agama Islam merupakan suatu agama yang membentuk suatu masyarakat dan berperadaban. Maka pendekatan yang digunakan dalam memahami Islam, menurut Mukti Ali adalah metode filosofis, karena mengkaji hubungan manusia dan Tuhan yang dibahas dalam filsafat. Dalam arti pemikiran “metafisik” yang umum dan bebas. Selain itu metode-metode ilmu manusia juga perlu digunakan, karena dalam agama Islam masalah kehidupan manusia di bumi ini dibahas. Metode lain, yaitu metode sejarah dan sosiologi yang Islam juga merupakan agama yang membentuk suatu masyarakat dan peradaban serta mengatur hubungan manusia dengan manusia
2.4.. PENDEKATAN POKOK DALAM STUDI BUDAYA
Dakwah Islam ke Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam tidak lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam diIndonesia, dirasakan demikian sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaanantara ajaran Islam dengan kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya  Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa oleh para juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun budaya seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa.
Para wali Allah tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas dan berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia, misalnya: setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan bahasa Arab (Al-Qur’an), yang sudah secara langsung masuk ke dalam bahasa daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya yang dilaksanakan adalah ajaran-ajaran islam.
Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitumewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab di dalam keluarga.
Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal: masjid-masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa. Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat  ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok.[3]


BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Kebudayaan diartikan secara sederhana sebagai hasil budaya manusia, hasil cipta, rasa dan karsa dengan menggunakan simbol-simbol serta artifak. Sejalan dengan pengertian ini, kebudayaan meliputi cara hidup seluruh masyarakat yang mencangkup cara bersikap, menggunakan pakaian, bertutur bahasa, ibadah, norma-norma tingkah laku, serta sistem kepercayaan.
Islam yang dihubungkan dengan kebudayaan berarti cara hidup atau way of life yang juga sangat luas cakupannya. Tentu disini Islam juga dilihat sebagai realitas sosial. Yakni Islam yang telah menyejarah meruang dan mewaktu, Islam yang dipandang sebagai fenomena sosial:bisa dilihat dan dicermati.
Para wali Allah tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas dan berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia, misalnya: setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan bahasa Arab (Al-Qur’an), yang sudah secara langsung masuk ke dalam bahasa daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya yang dilaksanakan adalah ajaran-ajaran islam.
B. SARAN
Dengan selesainya penulisan makalah ini, kami berharap semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, untuk itu saran yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan dan pengembangan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
2.      Hakim,Atang Abd dkk,bandung,PT Remaja Rosdakarya,2003,Metodologi studi islam